Pelabuhan Gresik terletak pada posisi 112o39’30,60’’ garis Bujur Timur dan 7o9’27,40’’ garis Lintang Selatan, tepatnya pada Selat Madura atau sebelah utara Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.
Kota Gresik dibagi menjadi 7 (tujuh) bagian wilayah kota dan masing-masing bagian wilayah kota dibentuk satu pusat bagian wilayah kota. Dengan mempertimbangkan kondisi fisik lokasi pelabuhan dan sekitarnya serta permasalahan kota yang ada saat ini, khususnya masalah pengembangan transportasi dan kebutuhan layanan kota, maka ada 3 (tiga) kawasan kepentingan pelabuhan yang direncanakan di kota Gresik yaitu Pelabuhan Utama Gresik merupakan pelabuhan utama bagi arus barang dan penumpang, baik yang masuk maupun yang keluar ke Pelabuhan Gresik, Pelabuhan Nelayan Gresik merupakan pelabuhan utama bagi kegiatan nelayan, Pelabuhan Gresik merupakan pelabuhan khusus yang penggunaannya terbatas untuk kepentingan industri tertentu seperti petrokimia, plywood dan semen.
Sejarah pelabuhan gresik yaitu di mulai sekitar abad ke-16 M di mana pada waktu itu pelabuhan Gresik dapat menggeser peran dari pada pelabuhan Tuban, hal ini di buktikan dengan ketertarikan kapal-kapal asing untuk mendarat di pelabuhan Gresik daripada pelabuhan Tuban. Hal itu disebabkan :
a. Fasilitas pelabuhan Tuban kurang memadai.
b. Adanya endapan lumpur yang mendangkalkan pelabuhan Tuban.
c. Penarikan bea cukai di Tuban sangat tinggi, sehingga para pedagang tidak mendapat banyak keuntungan yang diharapkan.
d. Penguasa Tuban menggunakan cara kekerasan untuk memaksa kapal asing mendarat di pelabuhannya. Dalam hal ini Tuban dibantu oleh Arosbaya (Madura). Berita-berita lain juga menyebutkan bahwa jung-jung Cina ( kapal tradisional Cina ) dipaksa untuk berlabuh di Tuban, bahkan pernah terjadi pertempuran di laut yang berakhir dengan kekalahan jung-jung Cina, kemudian seluruh muatannya disita.
Pada awal abad ke-17 M pelabuhan Gresik tetap berperan sebagai pelabuhan besar dan utama diantara pelabuhan-pelabuhan lain disekitarnya. Namun kebesaran pelabuhan Gresik tidak seperti sebelumnya, karena pada masa itu politik ekspansi Sultan Agung sudah mengarah ke Gresik dibantu Pangeran Pekik dari Surabaya.
Pada tahun 1625 M menurut sumber-sumber Belanda disebutkan bahwa dua pelabuhan di Gresik dikelola oleh dua orang syahbandar yang diangkat oleh penguasa Surabaya. Syahbandar utama berkedudukan di Gresik, sedangkan di Jaratan ditempatkan seorang syahbandar muda. Syahbandar muda di Jaratan dikenal dengan julukan Ence Muda, seorang keturunan Cina, istrinya seorang putri Beng-Kong, pemimpin penduduk Betawi saat itu.
Walaupun ada sedikit kemunduran, namun sampai awal abad ke-17 M di pelabuhan Gresik masih nampak adanya aktifitas produksi kapal bermuatan 10 sampai 100 ton, digunakan untuk berlayar ke Maluku dan sekitarnya. Selain itu juga disediakan fasilitas untuk kapal dari luar yang membutuhkan perbaikan. Pelayaran menuju pulau rempah-rempah (Maluku) masih menjadi prioritas utama.
Para pedagang Gresik dan Banda mengadakan hubungan pelayaran dan perdagangan dengan baik. Dalam hubungannya dengan Maluku, pelabuhan Gresik sangat berperan penting, karena disinilah orang-orang Ternate dan Tidore berlabuh, selain untuk berdagang juga pergi ke pesantren Giri untuk memperdalam ilmu agama Islam.
Pada tahun 1612 M Kerajaan Giri sudah kehilangan wibawanya menyusul pergantian kekuasaan dari Sunan Prapen (Giri IV) pada penguasa berikutnya yaitu Panembahan Kawisguwa pada tahun 1605 M. Pengganti Sunan Prapen tidak lagi bergelar sunan tapi panembahan. Kata “Sunan” berasal dari singkatan “susuhunan” artinya yang dijunjung tinggi. Suhun sendiri berarti dijunjung di atas kepala atau tempat memohon sesuatu. Disinilah kekuasaan kharismatik akan memperkuat kekuasaan politik, ekonomi, dan sosial bila seseorang menyandangnya.
Terdapat berita tentang kemunduran aktifitas pelabuhan Gresik. Berita ini dikemukakan oleh J.P. Coen yang pernah singgah di Gresik pada tahun 1613 M. Dalam berita itu disebutkan bahwa kemunduran ini disebabkan oleh VOC yang berhasil mendirikan kantor dagangnya sebagai pusat eksploitasi di Gresik pada tahun 1603 M, juga Mataram dengan politik ekspansinya dibawa komando Sultan Agung. Diceritakan pula bahwa pada saat itu kota Gresik telah terbakar dan mengalami kerusakan berat, penduduk banyak menyingkir ke pedalaman. Menurut warga setempat bahwa empat belas hari sebelum J.P. Coen datang Giri-Gresik diserang oleh Mataram.